Membaca lirik lagu ciptaan Titik Puspa tentang perempuan yang pekerjaannya sering dikatakan kotor ini, mau tidak mau mengingatkan kita bahwa persoalan menyangkut perempuan pekerja seks[1] sangat kompleks karena menyangkut persoalan ekonomi, budaya, dan kesehatan. Bahkan terkadang ironisnya pihak yang membenci dan menyiksa perempuan pekerja seks adalah kaum perempuan juga yang umumnya kaum istri. Apakah benar perempuan pekerja seks adalah pekerjaan yang bermodalkan tubuh semata? Rasanya anggapan tersebut sudah usang karena dalam kenyataannya profesi seperti ini juga menimbulkan persaingan dan menuntut strategi khusus diantara sesama perempuan pekerja seks sehingga para lelaki bisa membutuhkan dan mencintai perempuan pekerja seks.
Memang tidak ada catatan sejarah yang dapat secara pasti menyebutkan kapan, dimana dan bagaimana profesi seperti ini mulai ada dan dikenal luas.[2] Tetapi dapat dikatakan bahwa profesi ini sepertinya tidak mengenal perbedaan tempat dan kondisi sehingga bisa dikatakan setiap daerah perkotaan bisa saja dihuni oleh perempuan pekerja seks. Perbincangan mengenai perempuan pekerja seks sepertinya tidak lekang dimakan usia, setiap saat menarik untuk dibicarakan dan dikaji. Apalagi masyarakat kita sering menerapkan standar ganda ketika menyikapi persoalan ini, di satu sisi kita melarang pelacuran, tetapi di sisi lain kita terima juga sebagai sesuatu yang tak dapat dielakkan.[3]Dan sebagai suatu realitas di tengah masyarakat, fakta-fakta yang berkaitan dengan keberadaan perempuan pekerja seks memang menarik untuk dijadikan berita. Tetapi apakah wacana yang ditampilkan media mampu mengangkat atau justru merendahkan posisi perempuan pekerja seks dengan meneguhkan atau malah memperbaharui pandangan masyarakat tentang perempuan pekerja seks adalah fakta media yang menarik untuk dicermati khususnya dengan perspektif gender karena masalah ini menyangkut relasi antara perempuan—penyedia layanan—dan lelaki—pengguna layanan—dalam kegiatannya.
Pemberitaan mengenai perempuan pekerja seks yang menarik untuk dicermati diantaranya adalah peristiwa penggundulan di depan Mesjid Baiturrahman Banda Aceh pada 5 Desember 1999 dan penangkapan 12 perempuan di sebuah hotel di Banda Aceh pada 18 Maret 2002. Bagi daerah Serambi Mekah yang terkenal religius ini realitas tentang perempuan pekerja seks secara tidak langsung dianggap dapat mencoreng citra Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang sejak lama telah menerapkan Syariat Islam di wilayahnya dan dideklarasikan kembali pada 14 Maret 2002 oleh Gubernur NAD, Abdullah Puteh. Kenyataan ini memperlihatkan ada paradoks di tengah semangat penerapan Syariat Islam secara kaffah (menyeluruh) karena perbuatan yang dikategorikan maksiat ini ternyata ada di NAD bahkan disinyalir dilakukan oleh perempuan dari etnis Aceh[4]. Penggundulan oleh masyarakat disaat gencarnya himbauan penegakan Syariat Islam di Aceh pada medio 1999 dan penangkapan oleh Polres NAD sepekan setelah pendeklarasian ulang penerapan Syariat Islam secara kaffah tak pelak menyedot perhatian media untuk memberitakannya.[5] Lalu bagaimana wacana yang dihasilkan oleh media, apakah sensitif gender? Mari kita simak uraian berikut ini.
Asal Muasal Nama Merek Elektronik
14 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar